
FIB UNDIP – Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB UNDIP), Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum., yang kini juga menjabat sebagai Dekan FIB Undip, mengangkat tema besar tentang dinamika industri kreatif kerajinan ukir Jepara dari tahun 1980 hingga 2022.
Pidato dengan judul “Tantangan dan Respons: Pasang Surut Industri Kreatif Kerajinan Ukir Jepara 1980–2022” ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana tradisi, ekonomi kreatif, dan kebudayaan lokal saling terkait dalam perjalanan panjang masyarakat Jepara.
Warisan Budaya Bernilai Ekonomi Tinggi
Prof. Alamsyah menegaskan bahwa ukir Jepara bukan sekadar seni, melainkan warisan budaya takbenda yang sudah ada sejak abad ke-16 dan terus bertahan hingga kini. Bahkan, pada masa Kartini, kerajinan ukir Jepara berhasil dikenalkan ke kancah internasional melalui pameran.
Menurutnya, sejak era 1970-an, mengukir telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Jepara. Pada puncaknya, antara 1997 hingga 2000, industri ukir Jepara booming berkat tingginya nilai ekspor, banyaknya unit usaha, serta meningkatnya jumlah eksportir. Kondisi ini mengubah Jepara yang semula daerah miskin, menjadi lebih makmur.
Tantangan Global dan Lokal
Namun, perjalanan itu tak selalu mulus. Setelah masa keemasan, industri ukir Jepara menghadapi berbagai tantangan. Dari sisi makro, terjadi penurunan permintaan global, kenaikan harga bahan baku kayu jati, hingga perubahan sistem pembayaran ekspor. Dari sisi mikro, masalah muncul pada rendahnya upah pekerja, sulitnya regenerasi pengukir muda, serta persaingan produk dari negara lain seperti Tiongkok, Malaysia, dan Vietnam.
Prof. Alamsyah menyebut fenomena ini sebagai tantangan sekaligus respons ala teori Arnold Toynbee. Tantangan adalah peristiwa yang mengancam keberlangsungan kebudayaan, sementara respons adalah upaya yang dilakukan masyarakat untuk bertahan dan beradaptasi.
Respons dan Harapan
Meski menghadapi tekanan besar, stakeholders industri ukir, mulai dari pengrajin, pemerintah, hingga lembaga pendidikan terus berupaya mencari solusi. Respons yang dilakukan di antaranya adalah memperluas pasar, memperkuat kreativitas ragam hias, hingga mendorong regulasi pemerintah yang lebih berpihak pada pengrajin.
Prof. Alamsyah menekankan pentingnya regenerasi. Minimnya minat anak muda untuk melanjutkan tradisi ukir menjadi ancaman serius bagi eksistensi Jepara sebagai kota ukir dunia. Oleh karena itu, ia mendorong langkah sistematis melalui pendidikan formal dan non-formal, insentif bagi pengukir, serta dukungan regulasi.
Substansi Pidato: Dari Lokal ke Global
Secara substansi, pidato Prof. Alamsyah bukan hanya berbicara tentang ukir Jepara, melainkan juga tentang bagaimana ekonomi kreatif mampu menjadi jembatan antara kearifan lokal dan kebutuhan global. Menurutnya, kerajinan ukir adalah contoh nyata bahwa warisan budaya bisa dikembangkan menjadi industri yang bernilai tinggi jika dikelola dengan inovasi dan kolaborasi lintas sektor.
“Kerajinan ukir Jepara adalah identitas sekaligus kebanggaan. Tantangan memang nyata, tapi dengan respons yang tepat, tradisi ini akan tetap hidup dan memberi manfaat bagi generasi mendatang,” ungkapnya dalam pidato.
Pidato pengukuhan ini menjadi refleksi bahwa warisan budaya bukan hanya soal masa lalu, melainkan juga modal penting untuk masa depan. Pandangan Prof. Alamsyah menegaskan bahwa keberlangsungan industri ukir Jepara membutuhkan kreativitas, dukungan kebijakan, dan regenerasi yang berkelanjutan.
FIB Undip melalui kiprah akademiknya siap menjadi bagian dari upaya pelestarian sekaligus pengembangan industri kreatif berbasis budaya, agar Jepara tetap dikenal sebagai World Carving Center di tengah dinamika global yang terus berubah.