
FIB UNDIP – Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa menyimpan kekuatan besar yang bisa digunakan untuk membentuk cara pandang, bahkan untuk melanggengkan atau melawan kekuasaan.
Hal inilah yang dikupas secara mendalam oleh Dr. Dra. Nurhayati, M.Hum., dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip), dalam wawancara eksklusif bersama tim Humas FIB Undip.
Beliau dikenal sebagai pakar di bidang Analisis Wacana Kritis yang merupakan sebuah kajian lintas disiplin yang mengaitkan bahasa dengan kekuasaan, ideologi, dan ketimpangan sosial.
Bahasa dan Kekuasaan: Menyingkap yang Tersembunyi
Dalam penjelasannya, Dr. Nurhayati menyampaikan bahwa analisis wacana kritis tidak hanya mempelajari struktur bahasa, tetapi juga menelaah bagaimana bahasa digunakan untuk melakukan praksis sosial tertentu.
“Bahasa bukan cuma alat komunikasi, tapi juga alat untuk melakukan praksis sosial. Misalnya, kelompok dominan bisa menggunakan bahasa untuk melanggengkan kekuasaan atau melakukan diskriminasi,” jelasnya.
Melalui ancangan ini, para peneliti berusaha membongkar agenda tersembunyi di balik penggunaan bahasa. Contohnya, dalam wacana politik, bahasa seringkali dimanfaatkan untuk memengaruhi opini publik secara halus. Kata-kata yang digunakan tampak netral, padahal menyimpan kepentingan ideologis tertentu.
Relevansi di Era Digital: Dari Hoaks hingga Neokapitalisme
Menurut Dr. Nurhayati, di era digital saat ini, analisis wacana kritis memiliki peran penting untuk membantu masyarakat lebih cerdas dan selektif terhadap informasi. “Sekarang banyak sekali hoaks, misinformasi, atau bahasa yang dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Tanpa sikap kritis, masyarakat mudah termakan informasi yang salah,” tuturnya.
Beliau mencontohkan fenomena pinjaman online yang sering dikemas dengan bahasa persuasif dan manis. “Kalimat seperti ‘syarat mudah, dana cepat cair’ terdengar membantu, padahal bisa menjerumuskan. Bahasa seperti ini digunakan untuk menutupi praktik penyalahgunaan kekuasaan ekonomi,” ujarnya.
Lebih jauh, ia juga menyinggung ideologi neokapitalisme yang secara halus menyusup melalui bahasa sehari-hari. Misalnya, anggapan bahwa pendidikan dan kesehatan sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu. Padahal, dua hal tersebut sejatinya adalah tanggung jawab negara.
Analisis Wacana Kritis dalam Dunia Akademik
Sebagai pengajar di Program Studi Sastra Inggris dan Magister Linguistik, Dr. Nurhayati menanamkan pendekatan berpikir kritis kepada mahasiswanya. Di jenjang S1, metode ini diterapkan dalam mata kuliah seperti Writing, Reading, atau Stilistika. “Lewat karya sastra, mahasiswa diajak melihat bagaimana bahasa digunakan untuk melawan atau justru melanggengkan kekuasaan,” jelasnya.
Sementara itu, di jenjang S2, mahasiswa tidak hanya diajak memahami teori, tetapi juga membuat proyek yang menganalisis berbagai masalah sosial melalui bahasa. Tujuannya agar mereka mampu membaca realitas secara lebih mendalam dan objektif.
Menumbuhkan Generasi Akademik yang Kritis dan Emansipatif
Dr. Nurhayati menekankan bahwa berpikir kritis bukan berarti melawan, tetapi mencari kebenaran yang sesungguhnya. “Kritis itu melihat apa yang tersembunyi, apa yang disamarkan. Tujuannya memberi pencerahan dan pembebasan,” ujarnya.
Lulusan FIB Undip, khususnya dari bidang linguistik, diharapkan mampu menjadi akademisi, analis media, maupun profesional yang tanggap terhadap isu sosial. Dengan bekal analisis wacana kritis, mereka tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu menyesatkan dan mampu menjadi agen pencerahan bagi masyarakat.
“Bahasa itu punya kekuatan besar,” tutup Dr. Nurhayati. “Kalau digunakan dengan kritis, ia bisa menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.”